RSS

Mentari Musim Semi

25 Jan

Tempat ini membuatku frustasi. Aku menyesali keputusanku untuk pindah kemari. Awalnya aku tertarik pada bunga-bunga yang mekar saat musim semi. Beberapa kawanku sudah memperingatkanku akan tempat ini. Mereka tak bisa mengatakan dengan pasti padaku akan apa yang ada di tempat ini. Peringatan mereka hanya satu: tempat ini dekat dengan kutub utara, perubahan cuacanya sangat ekstrim.

Tapi aku tak peduli, saat itu belahan duniaku sedang berkabut dan mendung. Tawaran pindah ke tempat ini sangat menggodaku. Matahari bersinar sejuk, bunga-bunga mekar dengan warna-warni keperakan yang indah. Saat angin bertiup, maka aroma padang rumput membelai lembut wajahku. Aku memanjakan diriku, duduk di dekat jendela, menanti saatnya bisa berlarian di padang hijau di depanku. Hari yang kunanti-nantikan tak kunjung tiba.

“Bersabarlah dulu, mungkin musim semi berikutnya.”

Itu kata mereka. Aku tak tahu musim ini akan berganti menjadi apa, tapi saat daun-daun mulai berguguran, entah mengapa aku sadar, mereka tak akan menepati janji. Tak akan pernah ada musim semi berikutnya, semua harapanku telah dihancurkan oleh angin yang tak lagi lembut, kehangatan yang hilang, serta kesejukan yang mulai menusuk. Sungguh, janji itu tak akan pernah datang.

“Musim semi tak akan lama.”

“Apakah kalian yakin musim semi tahun depan?” kataku

Keraguan tampak di wajah mereka.

“Sudahlah, tak ada gunanya lagi semua ini, musim semi tak akan datang bersama kalian,” kataku berusaha tetap ramah.

Lalu mereka pergi, mereka mengambil daun terakhir dari ranting yang rapuh itu. Tanda bahwa mereka tak akan kembali lagi.

Entah sudah berapa lama aku duduk di jendela ini. Memandang es dan salju yang tak kunjung mencair, mengharapkan sedikit kehangatan dari sinar matahari. Tapi yang ada hanyalah kegelapan. Seberkas cahaya yang menandakan siang tak lagi cukup menghiburku. Padahal mentari sudah begitu baik menengokku meski sejenak, tapi aku terlalu dingin. Mungkin aku terlalu lelah memandang salju. Mungkin juga aku mendamba mentari yang lebih hangat, yang bisa menghangatkanku, mencairkan es dalam hatiku.

Kemudian, sebuah mentari hadir suatu saat, melepaskan salju terakhir dari pucuk ranting. Ya, inilah musim yang kunantikan, pikirku dalam hati. Aku belum bisa mengatakan apa-apa, hari masih terlalu pagi, gelap belum juga tertelan seluruhnya.

“Selamat pagi,” sapa mereka pertama kali.

“Pagi,” jawabku sambil tersenyum.

“Kami membawa musim semi yang tak akan mengecewakanmu.”

“Kapan musim itu datang?”

“Pada waktunya, kau akan melihatnya saat mentari ingin menunjukkannya.”

Aku pun menyambut mereka, aku percaya pada mereka. Aku tak tahu apakah keputusasaanku yang membuatku percaya, atau karena mentari hari itu begitu hangat. Hari demi hari aku menantikan saat itu, saat aku bisa berlarian di tempat yang sudah kuimpikan selama ini. Aku menanti janji, menanti janji musim semi.

Hari itu, sebuah bunga berwarna jingga muncul bersamaan dengan sinar jingga mentari. Aku menyambutnya, aku keluar dari jendela yang telah menemani penantianku selama bertahun-tahun. Pertama kali aku merasakan sensasi yang begitu aneh di telapak kakiku, sejuk tapi hangat, membelai lembut, mengalirkan darah hingga ke seluruh tubuhku. Hingga kehangatan itu menjalar ke setiap sel di tubuhku.

Inikah padang rumput itu, batinku. Hamparan hijau, merah, kuning, jingga, ungu, dan putih, aku berlari di sepanjang warna-warninya. Rasanya sejuk dan hangat.

“Musim semi telah datang,” kata sebuah suara yang tiba-tiba muncul di belakangku.

“Aku tidak menunggu musim semi, aku menunggumu,” kataku.

Lalu dia membawaku menuju hamparan padang rumput yang lebih luas. Meninggalkan jendela itu, tempat aku memupuk harap dan putus asa di setiap musim. Terus menuju padang rumput yang lebih hijau, menuju tempat di mana seluruh warna ada dan semakin berwarna. Menuju pelangi, dimana musim semi abadi berada.

***

Special for my best friend, Hanie. Yang telah mendapatkan ‘musim semi abadi’nya (12022012), hope it will last forever.

 
Leave a comment

Posted by on January 25, 2012 in My Short Stories

 

Leave a comment