RSS

Testimoni yang ‘Menjebak’

27 Nov

“Minum aja obat ini, aku dulu disarankan operasi oleh dokter, tapi minum obat ini sembuh.”

“Sakit lutut ya, ibu dan tanteku minum ini sembuh lho.”

“Omku sudah bolak-balik ke dokter ga sembuh-sembuh, setelah minum obat ini langsung sehat.”

Kalimat-kalimat di atas tentu pernah kita dengar, setidaknya sekali setiap kita atau orang dekat kita sakit. Obat herbal atau alternatif X dengan testimoni yang mengilap, mujarab untuk segala jenis penyakit. Tanpa membahas mengenai apakah pernyataan itu jujur atau dilebih-lebihkan, saya akan membahas mengenai mengapa testimoni tidak pernah digunakan sebagai dasar terapi medis.

Sebelum menuju ke sana, perlu saya tekankan lagi bahwa ilmu kedokteran yang digunakan di Indonesia adalah ilmu kedokteran Barat. Salah satu prinsip dari ilmu kedokteran Barat adalah adanya bukti ilmiah (evidence based), yang akan saya jelaskan di tulisan ini. Berbeda dengan ilmu kedokteran Timur yang bersifat filosofis dan empiris. Tidak ada yang salah dengan pengobatan Timur, selama benar dan tidak mengada-ada, tetapi karena tidak mempelajarinya, maka saya tidak dapat berkomentar banyak mengenai hal itu.

Bukti ilmiah dalam ilmu kedokteran memiliki berbagai prasyarat, tidak semua penelitian dapat digunakan hasilnya untuk mengambil keputusan medis. Misalnya untuk penelitian suatu obat; siapa saja yang dapat menjadi sampel penelitian, apa saja riwayat penyakit yang dimilikinya, bagaimana sampel diambil–apakah dari populasi yang sama atau berbeda, semua harus dicatat untuk mendapatkan kesimpulan yang benar, jangan sampai obat tersebut hanya diuji pada satu populasi saja, lalu digeneralisasi untuk semua populasi, padahal belum teruji di populasi lain. Belum lagi cara melakukan penelitian itu; berapa dosis yang digunakan, bagaimana cara minumnya, apakah subjek tahu obat yang diminum, apakah peneliti tahu siapa mendapatkan obat apa. Perlu diketahui juga bahwa untuk penelitian obat, selain subjek penelitian yang diberikan obat tersebut, ada juga kolompok subjek yang tidak diberikan obat itu. Dapat diberi obat yang tidak berisi apa-apa (plasebo), atau diberi obat lain dengan efek serupa. Hal ini dilakukan untuk menghindari bias dan mengukur keefektifan obat yang baru.

Saya beri contoh sebuah penelitian obat X dengan 900 orang sampel, 300 orang diberi obat X, 300 orang diberi obat Y, dan 300 orang diberi plasebo. Dengan obat X adalah obat yang baru, sedangkan obat Y adalah obat lama yang sudah teruji efektif. Hasilnya, yang sembuh dengan obat X ada 100 orang, yang sembuh dengan obat Y ada 270 orang, sedangkan yang sembuh dengan plasebo ada 50 orang.

Jika demikian, apakah kita perlu beralih ke obat X? Jika dilihat secara kasar, tentunya kita cenderung untuk tetap menggunakan obat Y saja. Namun, jika penelitian ini tidak dilakukan dengan benar, dan 10 saja orang yang sembuh dengan obat X mengeluarkan testimoni, maka akan terlihat seolah-olah obat X sangat bagus. Apalagi jika testimoni itu dibesarkan di media sosial, dikencangkan oleh orang yang terkenal, dan diiklankan sedemikian rupa. Orang bisa meninggalkan obat Y dan beralih ke obat X, karena tak mengetahui penelitian yang sebenarnya, dan hanya mendengar testimoni dari 10 orang. Padahal bisa kita lihat, ada 50 orang yang sembuh bahkan tanpa diberi obat apa-apa, yang dapat dijelaskan juga, mungkin pada pembahasan lain.

Ini adalah gambaran jika obat tersebut diuji. Jika obat tersebut tidak diuji, kita tidak pernah tahu. Ini baru berbicara mengenai efektif tidaknya, belum melihat efek sampingnya. Belum juga kita berbicara mengenai variabel apa saja yang diuji, serta bagaimana hasil sebuah penelitian dapat digeneralisasi untuk populasi tertentu. Karena bisa kita lihat, bahkan obat yang terbukti efektif masih ada peluang untuk tidak bermanfaat bagi sebagian kecil orang.

Itulah mengapa testimoni tidak bisa membuktikan apa-apa. Termasuk sebuah pengobatan yang dilakukan seorang dokter yang sangat terkenal, yang katanya menyembuhkan ribuan orang, tapi dokter itu justru mendapat sanksi etik dari organisasi profesi. Kita tidak pernah tahu, ribuan orang ini apakah semua mengalami sakit yang sama, apakah derajat keparahannya sama, apakah ada efek plasebo atau sugesti di situ. Lalu, apakah ada yang tidak berhasil dengan metode itu, dan berapa jumlahnya, apakah hanya segelintir, apakah ada puluhan, ratusan, atau ribuan orang juga? Tentu maknanya akan berbeda. Namun, selama data itu tidak ada, tidak ada pula yang bisa dibuktikan, dan dokter yang menjunjung etik tentu tidak akan merekomendasikannya.

 
1 Comment

Posted by on November 27, 2020 in Medic's Space

 

One response to “Testimoni yang ‘Menjebak’

Leave a comment