Kita tahu bahwa ilmu kedokteran di Indonesia mengacu pada Kedokteran Barat, yang menjadikan bukti ilmiah menjadi syarat mutlak untuk diperbolehkannya dokter melakukan suatu tindakan, baik itu diagnostik maupun terapeutik. Semua dokter yang berpraktik di Indonesia terikat oleh aturan tersebut, jika terbukti melakukan sesuatu yang tidak ilmiah, ada konsekuensi yang harus dihadapi.
Sebetulnya, kenapa sih harus ada aturan ini-itu? Kenapa tidak dibebaskan saja dokter berkreasi? Toh dulu kemajuan ilmu kedokteran juga dimulai dari hal-hal yang melanggar etika, bahkan hukum, mulai dari mencuri mayat di kuburan, membedah manusia tanpa bius, hingga menyuntikkan obat berbahaya ke orang sehat.
Jawaban singkatnya, karena semua orang berhak untuk dimanusiakan.
Bayangkan kalau besok, saat kamu sakit kepala, doktermu bilang “Sebetulnya dari hasil pemeriksaan saya tidak ada masalah, tapi rasanya ada yang menarik di kepala Anda, bagaimana kalau saya bedah saja untuk melihat, siapa tahu ada apa-apa. Yah, meski tidak serius, tapi mungkin saya bisa menemukan diagnosis baru.”
Apakah kamu akan langsung membuat janji operasi, atau pindah ke dokter lain (sambil memviralkan si dokter di media sosial)? Atau jangan-jangan kamu tidak sempat berbuat apa-apa, karena di masa lalu, persetujuanmu tidak mutlak ada.
Itu adalah contoh ekstrem. Contoh lain yang sering terjadi di masyarakat, terutama di pedesaan, adalah suntik vitamin. Konon, mereka yang pegal-pegal, sakit kepala, batuk pilek, masuk angin, atau sakit apa pun, sembuh jika disuntik vitamin di dokter A, atau mantri B, atau bidan C. Padahal kita tahu sebagian kondisi itu mungkin memang benar bisa di-boost dengan vitamin, atau sebenarnya bisa sembuh dengan sendirinya.
Suatu ketika, seseorang dengan serangan jantung (yang kadang-kadang sering dianggap masuk angin biasa) yang disarankan dokter untuk segera melakukan kateterisasi jantung, memilih untuk pulang dan singgah ke dokter A untuk suntik vitamin saja, toh biasanya juga sembuh. Ternyata, karena kebetulan sumbatan pasien ini belum menyumbat total, didukung dengan sugesti, sedikit efek obat yang sudah diberikan dokter sebelumnya, dan faktor-faktor keberuntungan lain, dia merasa agak baikan. Beberapa hari pasien ini tidak merasakan gejala berat, lalu mengklaim bahwa dia sembuh berkat suntikan di dokter A. Kemudian si dokter (yang lupa kode etik dan tanggung jawab profesi) mulai melakukan promosi sana-sini, sambil menaikkan tarif suntikannya (dan mungkin mulai menambahkan sedikit antinyeri dan antiradang di suntikannya). Banyak yang sembuh, katanya. Indikatornya apa? Yang pusing jadi tidak pusing, yang lemas jadi bugar, yang nyeri jadi tidak nyeri.
Apakah itu cukup? Apakah kalau seseorang itu pusing karena kekurangan nutrisi dengan pusing karena sumbatan pembuluh darah otak perlakuannya sama? Dari evidence-based medicine jelas tidak. Tetapi kalau dari testimoni, atau pengobatan “kira-kira”, atau “kata orang bisa kok”, mungkin saja iya. Kembali ke pasien serangan jantung sebelumnya, ternyata beberapa minggu kemudian dia mengalami serangan kembali, kali ini total, dan kebetulan dokter A sedang tidak ada di tempat. Dia ‘terpaksa’ ke rumah sakit, lalu meninggal karena sudah sangat terlambat untuk dilakukan tindakan. Setelahnya, keluarganya mungkin akan bilang, “Dulu berobat di dokter A sembuh, ke rumah sakit malah meninggal.”
Apakah pasien dan keluarganya salah? Menurut saya tidak sepenuhnya salah mereka. Mereka sudah mendatangi dokter, yang berpraktik dengan izin yang legal, tentu saja mereka berhak mendapatkan penanganan yang benar. Jika pasien tidak bisa menerima diagnosis dokter X, dia berhak meminta pendapat kedua dari dokter A. Masalahnya, dokter A berpraktik tanpa mengindahkan kode etik dan tanggung jawab profesi. Dia tahu sesungguhnya pasien memerlukan terapi yang lebih dari sekadar “suntik vitamin”, tapi tidak dia lakukan karena ingin merawat kepercayaan pasien terhadapnya.
Orang awam tentu sulit membedakan dokter mana yang mempraktikkan evidence-based medicine dengan dokter yang asal meresepkan obat. Di sinilah negara, dengan bantuan organisasi profesi yang memahami tentang keilmuan di bidangnya, berperan sebagai kontrol. Jika diaudit, dokter A jelas melakukan kesalahan dan patut mendapatkan sanksi karena membahayakan (sebagian) pasiennya. Seorang dengan sumbatan pembuluh darah jantung tidak seharusnya dibiarkan begitu saja hanya dengan suntikan vitamin meski keluhannya mereda. Pun jika pemerintah (dalam hal ini dinas kesehatan), membiarkan saja praktik semacam ini, mereka juga melakukan kesalahan, karena membiarkan praktik yang tidak aman seolah-olah legal.
Singkat cerita, karena ketidaktahuannya, keluarga dari pasien serangan jantung (yang sudah meninggal di rumah sakit itu) membela dokter A karena dulu sudah ‘disembuhkan’. Diikuti pasien-pasien dokter A lain yang beramai-ramai memberikan testimoni. Sebelumnya, saya pernah menulis tentang pengujian obat di sini.
Dengan dilarangnya praktik dokter A oleh pejabat berwenang dan organisasi profesi, kita bisa yakin bahwa fungsi pengawasan berjalan. Tak peduli seberapa banyak pasien dokter A yang ‘merasa sembuh’ dan membelanya mati-matian. Itu artinya, siapa saja yang mendapat izin untuk berpraktik di negara ini (seharusnya) melakukan prosedur yang benar, memastikan bahwa masyarakat mendapat pelayanan yang standar dan optimal. Tak perlu khawatir ‘salah pilih’, karena yang ada sudah pilihan.
Kewajiban dokter melakukan pengobatan dengan bukti ilmiah adalah salah satu cara melindungi pasien, melindungi orang yang awam medis dari praktik yang tidak bertanggung jawab.